15 Contoh Puisi Panjang Berbagai Tema Menarik dari Penyair Terkenal
Menulis puisi panjang berbagai tema bisa menjadi inspirasi untuk siapa saja termasuk bagi pemula. Jika masih bingung bagaimana cara membuatnya, intip referensinya di sini, ya!
Puisi adalah salah satu jenis karya sastra yang mengutamakan kata-kata sebagai pembangun imajinasi.
Melansir Modul Bahasa Indonesia Kelas X oleh Sumiati, bahasa di dalam puisi atau sajak terikat oleh rima dan irama.
Selain itu, penyusunannya berdasarkan bait dan larik.
Cara membuat sajak sebenarnya tidak terlalu sulit, kok.
Bahkan, kamu bisa menulis puisi pendek atau panjang berbagai tema dengan mudah.
Apa Itu Puisi Panjang?
Puisi adalah salah satu karya sastra yang ditulis pendek atau panjang dan dituangkan dari isi hati, pikiran, serta perasaan penyair.
Puisi atau sajak tersebut ditulis dengan bahasa yang pekat, kreatif, dan imajinatif.
Menurut buku Sejarah Sastra Indonesia oleh Rosida Erowati dan Ahmad Bahtiar, puisi Indonesia dimulai pada 1928-an.
Kemudian, puisi berkembang sampai saat ini dengan beragam tema dan topik yang lebih modern, baik dalam bentuk singkat maupun panjang.
Puisi panjang adalah bentuk puisi yang memiliki jumlah baris lebih banyak daripada puisi-puisi biasa.
Biasanya, puisi panjang memiliki beberapa bagian atau bab yang mengembangkan tema atau cerita secara lebih rinci.
Nah, puisi panjang memberikan ruang yang lebih luas bagi pembuatnya untuk mengeksplorasi dan mengungkapkan ide, perasaan, atau pengalaman dengan lebih mendalam.
Untuk menambah referensi, simak contoh puisi panjang berbagai tema dari sejumlah penulis puisi terkenal berikut ini!
15 Contoh Puisi Panjang
1. Puisi Panjang Epik Ajip Rosidi: Jante Arkidam
Jante Arkidam
Ajip Rosidi
Sepasang mata biji saga
Tajam tangannya lelancip gobang
Berebahan tubuh-tubuh lalang dia tebang
Arkidam, Jante Arkidam.
Dinding tembok hanyalah tabir embun
Lunak besi di lengkungannya
Tubuhnya lolos di tiap liang sinar
Arkidam, Jante Arkidam.
Di penjudian di peralatan
Hanyalah satu jagoan
Arkidam, Jante Arkidam.
Malam berudara tuba
Jante merajai kegelapan
Disibaknya ruji besi pegadean.
Malam berudara lembut
Jante merajai kalangan ronggeng
Ia menari, ia ketawa.
‘Mantri polisi lihat ke mari!
Bakar meja judi dengan uangku sepenuh saku
Wedana jangan ketawa sendiri!
Tangkaplah satu ronggeng berpantat padat
Bersama Jante Arkidam menari
Telah kusibak ruji besi’
Berpandangan wedana dan mantri polisi
Jante, Jante Arkidam!
Telah dibongkarnya pegadean malam tadi
Dan kini ia menari.
‘Aku, akulah Jante Arkidam
Siapa berani melangkah kutigas tubuhnya batang pisang,
Tajam tanganku lelancip gobang
Telah kulipat ruji besi’
Diam ketakutan seluruh kalangan
Memandang kepada Jante bermata kembang sepatu.
‘Mengapa kalian memandang begitu?
Menarilah, malam senyampang lalu!’
Hidup kembali kalangan, hidup kembali penjudian
Jante masih menari berselempang selendang.
Diteguknya sloki kesembilan likur
Waktu mentari bangun, Jante tertidur.
Kala terbangun dari mabuknya
Mantri polisi berada di sisi kiri
‘Jante, Jante Arkidam, Nusa Kambangan!’
Digisiknya mata yang sidik
‘Mantri polisi, tindakanmu betina punya!
Membokong orang yang nyenyak’
Arkidam diam dirante kedua belah tangan
Dendamnya merah lidah ular tanah.
Sebelum habis hari pertama
Jante pilin ruji penjara
Dia minggat meniti cahya.
Sebelum tiba malam pertama
Terbenam tubuh mantri polisi di dasar kali.
‘Siapa lelaki menuntut bela?
Datanglah kala aku jaga!’
Teriaknya gaung di lunas malam
Dan Jante berdiri di atas jembatan
Tak ada orang yang datang
Jante hincit menikam kelam.
Janda yang lakinya terbunuh di dasar kali
Jante datang ke pangkuannya.
Mulut mana yang tak direguknya
Dada mana yang tidak diperasnya?
Bidang riap berbulu hitam
Ruas tulangnya panjang-panjang
Telah terbenam beratus perempuan
Di wajahnya yang tegap.
Betina mana yang tak ditaklukkannya?
Mulutnya manis jeruk Garut
Lidahnya serbuk kelapa puan
Kumisnya tajam sapu injuk
Arkidam, Jante Arkidam.
Teng tiga di tangsi polisi
Jante terbangun ketiga kali
Diremasnya rambut hitam janda bawahnya.
Teng kelima di tangsi polisi
Jante terbangun dari lelapnya
Perempuan berkhianat, tak ada di sisinya
Berdegap langkah mengepung rumah
Didengarnya lelaki menantang:
‘Jante, bangun! Kami datang jika kau jaga!’
‘Datang siapa yang jantan
Kutunggu di atas ranjang’
‘Mana Jante yang berani
Hingga tak keluar menemui kami?’
‘Tubuh kalian batang pisang
Tajam tanganku lelancip pedang’
Menembus genteng kaca Jante berdiri di atas atap
Memandang hina pada orang yang banyak
Dipejamkan matanya dan ia sudah berdiri di atas tanah
‘Hei, lelaki mata badak lihatlah yang tegas
Jante Arkidam ada di mana?’
Berpaling seluruh mata ke belakang
Jante Arkidam lolos dari kepungan
Dan masuk ke kebun tebu.
‘Kejar jahanam yang lari!’
Jante dikepung lelaki satu kampung
Dilingkung kebun tebu mulai berbunga
Jante sembunyi di lorong dalamnya.
‘Keluar Jante yang sakti!’
Digelengkannya kepala yang angkuh
Sekejap Jante telah bersanggul.
‘Alangkah cantik perempuan yang lewat
Adakah ketemu Jante di dalam kebun?’
‘Jante? Tak kusua barang seorang
Masih samar, di lorong dalam’
‘Alangkah Eneng bergegas
Adakah yang diburu?’
‘Jangan hadang jalanku
Pasar kan segera usai!’
Sesudah jauh Jante dari mereka
Kembali dijelmakannya dirinya
‘Hei lelaki sekampung bermata dadu
Apa kerja kalian mengantuk di situ?’
Berpaling lelaki ke arah Jante
Ia telah lolos dari kepungan
Kembali Jante diburu
Lari dalam gelap
Meniti muka air kali
Tiba di persembunyiannya.
2. Puisi Panjang tentang Kehidupan Afrizal Malna: Ekstase Waktu
Ekstase Waktu
Afrizal Malna
Dunia membuka dunia menutup tak jadi manusia
Aku kejar ujung jalan menyebelah maut ke mana aku kejar
Dunia sendiri tanpa manusia
Berlari
Seperti perahu tak berkemudi
Terlepas dari jarak:
Beri aku orang!
Aku mau bangun di atas kemakhlukan ini
O matahari membuka matahari menutup tak jadi manusia
Berdiri di kesunyian tubuh aku kejar ke mana aku kejar
Sampai mabuk ketinggian makhluk
Direguk sampai habis tenggorok
Jiwa membuka
Seperti api menghabiskan nyala
3. Puisi Panjang tentang Pendidikan: Pendidikan Adalah Gerbang Masa Depan
4. Puisi Panjang tentang Cinta Sapardi Djoko Damono: Pada Suatu Hari Nanti
Pada Suatu Hari Nanti
Sapardi Djoko Damono
Pada suatu hari nanti,
jasadku tak akan ada lagi,
tapi dalam bait-bait sajak ini
kau takkan kurelakan sendiri.
Pada suatu hari nanti,
suaraku tak terdengar lagi,
tapi di antara larik-larik sajak ini
kau akan tetap kusiasati.
Pada suatu hari nanti,
impianku pun tak dikenal lagi,
namun di sela-sela huruf sajak ini,
kau takkan letih-letihnya kucari.
5. Puisi WS Rendra: Surat Cinta
Surat Cinta
WS Rendra
Kutulis surat ini
kala hujan gerimis
bagai bunyi tambur yang gaib.
Dan angin mendesah
mengeluh dan mendesah,
Wahai, Dik Narti,
aku cinta kepadamu!
Kutulis surat ini
kala langit menangis
dan dua ekor belibis
bercintaan dalam kolam
bagai dua anak nakal
jenaka dan manis
mengibaskan ekor
serta menggetarkan bulu-bulunya,
Wahai, Dik Narti,
kupinang kau menjadi istriku!
Kaki-kaki hujan yang runcing
menyentuhkan ujungnya dibuai.
Kaki-kaki cinta yang tegas
bagai logam berat gemerlapan
menempuh ke muka
dan tak kan kunjung diundurkan
Selusin malaikat
telah turun
di kala hujan gerimis
Di muka kaca jendela
mereka berkaca dan mencuci rambutnya
untuk ke pesta.
Wahai, Dik Narti,
dengan pakaian pengantin yang anggun
bunga-bunga serta keris keramat
aku ingin membimbingmu ke altar
untuk dikawinkan.
Aku melamarmu,
Kau tahu dari dulu:
tiada lebih buruk
dan tiada lebih baik
dari yang lain…
penyair dari kehidupan sehari-hari,
orang yang bermula dari kata
kata yang bermula dari
kehidupan, pikir dan rasa
Semangat kehidupan yang kuat
bagai berjuta-juta jarum alit
menusuki kulit langit.
kantong rejeki dan restu wingit
Lalu tumpahlah gerimis.
Angin dan cinta
mendesah dalam gerimis.
Semangat cintaku yang kuta
bagai seribu tangan gaib
menyebarkan seribu jaring
menyergap hatimu
yang selalu tersenyum padaku.
Engkau adalah putri duyung
tawananku.
Putri duyung dengan suara merdu lembut
bagai angin laut,
mendesahlah bagiku!
Angin mendesah
selalu mendesah
dengan ratapnya yang merdu.
Engkau adalah putri duyung
tergolek lemas
mengejap-ngejapkan matanya yang indah
dalam jaringku.
Wahai, Putri Duyung,
aku menjaringmu
aku melamarmu.
Kutulis surat ini
kala hujan gerimis
karena langit
gadis manja dan manis
menangis minta mainan.
Dua anak lelaki nakal
bersenda gurau dalam selokan
dan langit iri melihatnya.
Wahai, Dik Narti,
kuingin dikau
menjadi ibu anak-anakku!
Sumber: Buku Empat Kumpulan Sajak
6. Puisi Kangen WS Rendra: Kangen
Kangen
WS Rendra
Kau tak akan mengerti bagaimana kesepianku
menghadapi kemerdekaan tanpa cinta.
Kau tak akan mengerti segala lukaku
karna cinta telah sembunyikan pisaunya.
Membayangkan wajahmu adalah siksa.
Kesepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan.
Engkau telah menjadi racun bagi darahku.
Apabila aku dalam kangen dan sepi
Itulah berarti
aku tungku tanpa api.
7. Puisi Gugur Karya WS Rendra: Gugur
Gugur
WS Rendra
Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya.
Tiada kuasa lagi menegak.
Telah ia lepaskan dengan gemilang
pelor terakhir dari bedilnya
ke dada musuh yang merebut kotanya.
Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya.
Ia sudah tua
luka-luka di badannya.
Bagai harimau tua
susah payah maut menjeratnya.
Matanya bagai saga
menatap musuh pergi dari kotanya.
Sesudah pertempuran yang gemilang itu
lima pemuda mengangkatnya
di antara anaknya.
Ia menolak
dan tetap merangkak
menuju kota kesayangannya.
Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya.
Belum lagi selusin tindak
maut pun menghadangnya.
Ketika anaknya memegang tangannya
ia berkata:
“Yang berasal dari tanah
kembali rebah pada tanah.
Dan aku pun berasal dari tanah;
tanah Ambarawa yang kucinta.
Kita bukanlah anak jadah
kerna kita punya bumi kecintaan.
Bumi yang menyusui kita
dengan mata airnya.
Bumi kita adalah tempat pautan yang sah.
Bumi kita adalah kehormatan.
Bumi kita adalah jiwa dari jiwa.
Ia adalah bumi nenek moyang.
Ia adalah bumi waris yang sekarang.
Ia adalah bumi waris yang akan datang.”
Hari pun berangkat malam
Bumi berpeluh dan terbakar
Kerna api menyala di kota Ambarawa.
Orang itu kembali berkata:
“Lihatlah, hari telah fajar!
Wahai bumi yang indah
kita akan berpelukan
buat selama-lamanya!
Nanti sekali waktu
seorang cucuku
akan menancapkan bajak
di bumi tempatku berkubur
kemudian akan ditanamnya benih
dan tumbuh dengan subur
Maka ia pun akan berkata:
– Alangkah gemburnya tanah di sini.”
Hari pun lengkap malam
ketika ia menutup matanya.
8. Puisi Goenawan Mohamad yang Berjudul di Muka Jendela
Di Muka Jendela
Goenawan Mohamad
Di sini
cemara pun gugur daun. Dan kembali
ombak-ombak hancur terbantun.
Di sini
kemarau pun menghembus bumi
menghembus pasir, dingin dan malam hari
ketika kedamaian pun datang memanggil
ketika angin terputus-putus di hatimu menggigil
dan sebuah kata merekah
diucapkan ke ruang yang jauh: – Datanglah!
Ada sepasang bukit, meruncing merah
dari padang-padang yang tengadah
rumah padang-padang tekukur
di mana tangan-hatimu terulur. Pula
ada menggasing kincir yang sunyi
ketika senja mengerdip, dan di ujung benua
mencecah pelangi:
Tidakkah siapa pun lahir kembali di detik begini
ketika bangkit bumi,
sajak bisu abadi,
dalam kristal kata,
dalam pesona?
Sumber: Buku 70 puisi: dipilih dari sajak-sajak 1961—2011 oleh Hasif Amini
9. Puisi Goenawan Mohamad: Pariksit
Pariksit
Goenawan Mohamad
Pariksit menunggu hari segera lewat.
Orang-orang pun menunggu batas waktu kutukan Crengi kepadanya berakhir, hingga baginda bebas dari ancaman kebinasaan oleh Naga Taksaka. Saat itu hari dekat senja. Raja muda yang disembunyikan di pucuk menara itu tengah tegak, merapatkan diri ke tingkap. Angin bangkit.
I
Dari rahim waktu, aku tahu kutukan bangkit
ke arah dadaku. Angin masih juga menimpa
dinding menara, penjara dari segala penjara:
ia yang lahir dari busur langit
dan jatuh berpusar ke arah tubuhku yang sendiri.
Angin yang purba, yang
semakin purba: dingin dan asing.
Jauh di bawahku terpacak rakyatku
menunggu. Mereka yang menyelamatkan, dan juga
menyiksa diriku. Mereka yang mendoa, sementara
aku tiada berdoa. Mereka kini yang punya angin-angin
sendiri, hujan-hujan sendiri, dan duka cita yang
sendiri. Mereka yang tak tahu
kita tak bisa berbagi.
(Tapi siksa ini adalah siksa mereka, siksa
mereka yang kuwakili di atas kelemahan tangan-tanganku)
Kini kuhirup bau senja, bau kandil-kandil
dan pesta: pesta pembebasan, tapi juga serapah malu
akan kecut hatiku. Bau yang sunyi, teramat sunyi.
Seperti sunyi ini yang menyilangkan kakinya
menantang padaku.
II
Menara penjara, dan penyelamat jasadku.
Tinggi ia menghujat bumi, mendamik dada ke langit:
keangkuhan besar ke tengah maha alam yang besar.
Karenanya, langit yang sarat warna tiada lagi
tempatku. Dan bumi gemetar meninggalkanku.
Kini telah kupilih, sebab keluarga dan
rakyat yang kukasih, keselamatan jasadku.
Kini telah kupilih, karena takutku, hari-hari
yang tak memerdekakan hatiku.
Dan telah kuhindari Maut, mautku sendiri.
Barisan burung-burung yang kian jauh
seakan-akan menyingkirkan diri dari kotaku yang
sepi. Kotaku yang berbatas gurun, berbatas rimba serta rumah-rumah pertapa. Kota yang melenguhkan hidup bila musim pun rekah, dan yang juga melenguhkan hidup bila tahun-tahun mengatupkan pintu-pintunya.
Aku telah lama bernafas dari kandungannya.
Telah lama.
Aswatama, mengapa tak kau bunuh dulu
bayi itu? Mengapa kau lepaskan aku?
III
Maka segeralah senja ini penuh dan
titik mentari terakhir jatuh. Dan kutuk itu datang,
membinasakan dan melebur daku jadi abu.
Bukan kegelisahan dahsyat yang hendakkan
semua itu. Bukan siksa menunggu yang menyuruhku.
Tapi kurindukan kemenangan-kemenangan, kemenangan
yang mengalahkan kecut hatiku.
Karena memang kutakutkan selamat tinggal
yang kekal. Seperti bila dari tingkap ini
kuhembuskan nafasku dan tak kembali
tanpa burung-burung, tanpa redup sore di pohon-pohon
tanpa musim, tanpa warna, yang menyusup
kulit tubuhku. Juga tanpa laut, yang jauh menyimak matahari, rimba dan hewan-hewan meriah.
Seperti bila langit dan titik-titik bintang
yang halus pun raib bersama harummu, perempuan
dalam telanjang dini hari
Pada akhirnya kita
tak senantiasa bersama. Ajal
memisah kita masing-masing tinggal.
IV
Wahai, adakah dia? (Berdetak tingkap tiba-tiba:
tapi angin yang kian dingin yang menguap padaku – angin dan angin senantiasa.)
Jika saja aku selamat, saudaraku, ketika nanti
saat itu lalu, akan masih saja kudukung kiamat dalam
diriku. Pohon-pohon menyambutku, hewan-hewan akan lagi
kuburu: tapi sepi akan tumpah ke nadi-nadiku. Karena
aku telah dibebaskan, tapi juga tak dibebaskan.
Dan tak kukenal wajahku kembali.
Di ruang ini, kunobatkan ketakutanku. Di menara ini
kuikat hidup-hidup kehadiranku: begitu sunyi, terenggut
dari alam dan nasibku sendiri.
Maka, Taksaka, leburlah aku dalam seribu api!
Dan mati.
V
Demi matiku, kutunjukkan padamu segala
yang tak sia-sia ini.
Ketika tiada pernah kubunuh diriku, dan tiada pernah
kuingkari. Dan siksa yang telah diwakilkan padaku,
kudekapkan pada Maut: dan segalanya pun terurai,
seperti musim bunga.
Dan di sana kulihat, juga kau lihat:
jentera-jentera yang berbisik ke laut,
berbisik, seperti burung-burung yang mencecah
dan degup demi degup darah.
Lalu terasa: di ruang abadi ini
kita akan selalu pergi
dalam nafas panas
yang santai.
Dan setiap kali malam pun tumbuh, juga pagi, siang
dan senja,
dan setiap kali demikian baka, tapi demikian fana
seperti bulan tumbuh
dan cemara
menggigil dingin ke udara.
1963
Sumber: Buku 70 Puisi: Dipilih dari Sajak-Sajak 1961-2011 oleh Hasif Amini
10. Puisi Amir Hamzah: Batu Belah (Kabaran)
Batu Belah (Kabaran)
Amir Hamzah
Dalam rimba rumah sebuah
Teratak bambu terlampau tua
Angin menyusup di lubang tepas
Bergulung naik di sudut sunyi
Kayu tua membetul tinggi
Membukak puncak jauh di atas
Bagai perarakan melintas negeri
Payung menaung jemala raja
Ibu papa beranak seorang
Manja bena terada-ada
Lagu lagak tiada disangkak
Minta benda muskil dicari
Telur kemahang minta carikan
Untuk lauk di nasi sejuk
Tiada sayang;
Dalam rimba telur kemahang
Mana daya ibu mencari
Mana tempat ibu meminta.
Anak lasak mengisak panjang
Menjambak merunta mengguling diri
Kasihan ibu berhancur hati
Lemah jiwa karena cinta
Dengar………dengar!
Dari jauh suara sayup
Mengalun sampai memecah sepi
Menyata rupa mengasing kata
Rang… rang… rangkup
Rang… rang… rangkup
Batu belah batu bertangkup
Ngeri berbunyi berganda kali
Diam ibu berpikir panjang
Lupa anak menangis hampir
Kalau begini susahnya hidup
Biar ditelan batu bertangkup
Kembali pula suara bergelora
Bagai ombak datang menampar
Macam sorak semarai rampai
Karena ada hati berbimbang
Menyahut ibu sambil tersedu
Melagu langsing suara susah:
Batu belah batu bertangkup
Batu tepian tempat mandi
Insya Allah tiadaku takut
Sudah demikian kuperbuat janji
Bangkit bonda berjalan pelan
Tangis anak bertambah kuat
Rasa risau bermaharajalela
Mengangkat kaki melangkah cepat
Jauh ibu lenyap di mata
Timbul takut di hati kecil
Gelombang bimbang mengharu fikir
Berkata jiwa menanya bonda
Lekas pantas memburu ibu
Sambil tersedu rindu berseru
Dari sisi suara sampai
Suara raya batu bertangkup
Lompat ibu ke mulut batu
Besar terbuka menunggu mangsa
Tutup terkatup mulut ternganga
Berderak-derik tulang-belulang
Terbuka pula, merah basah
Mulut maut menunggu mangsa
Lapar lebar tercingah pangah
Meraung riang mengecap sedap…
Tiba dara kecil sendu
Menangis pedih mencari ibu
Terlihat cerah darah merah
Mengerti hati bonda tiada
Melompat dara kecil sendu
Menurut hati menaruh rindu…
Batu belah, batu bertangkup
Batu tepian tempat mandi
Insya Allah tiada ku takut
Sudah demikian kuperbuat janji.
Sumber: Buku Puisi Indonesia Modern: Sebuah Pengantar oleh Ajip Rosidi
11. Puisi Joko Pinurbo: Kamus Kecil
Kamus Kecil
Joko Pinurbo
Saya dibesarkan oleh bahasa Indonesia
yang pintar dan lucu walau kadang rumit
dan membingungkan. Ia mengajari saya cara mengarang ilmu sehingga saya tahu
bahwa sumber segala kisah adalah kasih;
bahwa ingin berawal dari angan;
bahwa ibu tak pernah kehilangan iba;
bahwa segala yang baik akan berbiak;
bahwa orang ramah tak mudah marah;
bahwa seorang bintang harus tahan banting;
bahwa untuk menjadi gagah kau harus gigih;
bahwa terlampau paham bisa berakibat hampa;
bahwa orang lebih takut kepada hantu
ketimbang kepada Tuhan;
bahwa pemurung tidak pernah merasa
gembira, sedangkan pemulung tidak pelnah melasa gembila;
bahwa lidah memang pandai berdalih;
bahwa cinta membuat dera berangsur reda;
bahwa manusia belajar cinta dari monyet;
bahwa orang putus asa suka memanggil asu;
bahwa amin yang terbuat dari iman
menjadikan kau merasa aman.
Bahasa Indonesiaku yang gundah membawaku
ke sebuah paragraf yang menguarkan
bau tubuhmu. Malam merangkai kita
menjadi kalimat majemuk bertingkat
yang hangat di mana kau induk kalimat dan aku
anak kalimat. Ketika induk kalimat bilang pulang,
anak kalimat paham bahwa pulang adalah masuk
ke dalam palung. Ruang penuh raung.
Segala kenang tertidur di dalam kening.
Ketika akhirnya matamu mati, kita sudah tetap
tinggal dan berharap tak ada yang bakal tanggal.
Sumber: Buku Latihan Tidur: Kumpulan Puisi oleh Joko Pinurbo
12. Puisi Joko Pinurbo: Kisah Senja
13. Puisi Aan Mansyur: Batas
14. Puisi Dorothea Rosa Herliany: Episode Sebuah Serial Pop
15. Puisi Emily Dickinson: I Felt a Funeral, in my Brain
I Felt a Funeral, in my Brain
Puisi Emily Dickinson
I felt a Funeral, in my Brain,
And Mourners to and fro
Kept treading – treading – till it seemed
That Sense was breaking through –
And when they all were seated,
A Service, like a Drum –
Kept beating – beating – till I thought
My mind was going numb –
And then I heard them lift a Box
And creak across my Soul
With those same Boots of Lead, again,
Then Space – began to toll,
As all the Heavens were a Bell,
And Being, but an Ear,
And I, and Silence, some strange Race,
Wrecked, solitary, here –
And then a Plank in Reason, broke,
And I dropped down, and down –
And hit a World, at every plunge,
And Finished knowing – then –
***
Itulah berbagai contoh puisi panjang.
Semoga bermanfaat, Property People.
Temukan tulisan menarik lainnya di artikel.rumah123.com.
Jangan lupa, kunjungi Teras123 untuk ngobrolin seputar hunian, tips, hingga hukum.
Nggak perlu bingung lagi soal properti karena di Rumah123, kebutuhan yang kamu cari #SemuaAdaDisini.
Referensi
- Rosidi, Ajip. 2009. Puisi Indonesia Modern: Sebuah Pengantar. Dunia Pustaka Jaya.
- Rendra, WS. 2013. Potret Pembangunan dalam Puisi. Pustaka Jaya.
- Mohamad, Goenawan, Amini, Hasif. 2011. 70 Puisi: Dipilih dari Sajak-Sajak 1961-2011. PT Grafiti.
- Rendra, WS. 2004. Empat Kumpulan Sajak. Pustaka Jaya.
- Erowati, Rosida, Bahtiar, Ahmad. 2011. Sejarah Sastra Indonesia. Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Gambar cover: shutterstock dan rumah123