KPR
Panduan
Insider Logo

Hukum Shalat Idul Fitri Menurut 4 Mahzab, Pahami Dalilnya

hukum shalat idul fitri dalam islam
sumber: shutterstock

Hukum shalat Idul Fitri bagi umat Islam masih kerap menjadi perdebatan. Ada yang mengatakan ibadah ini wajib dan ada juga yang tidak. Berikut penjelasan selengkapnya!

Idul Fitri merupakan hari raya Islam yang jatuh pada tanggal 1 Syawal kalender Hijriah.

Di momen ini, masyarakat muslim beramai-ramai menegakkan ibadah salat Ied pada pagi hari.

Menariknya, meski selalu menjalankannya, masih banyak yang belum mengetahui hukum shalat Ied, lo.

Terkait hukum shalat Idul Fitri, terdapat 4 mahzab, yakni Syafi’i, Hambali, Hanafi, dan Maliki.

Lebih lengkapnya, simak penjelasan berikut ini!

Hukum Shalat Idul Fitri Berbagai Mahzab

mahzab hukum shalat idul fitri
sumber: misterarie.com

1. Hukum Shalat Idul Fitri Menurut Mahzab Syafi’i (Sunah Muakkad)

Hukum shalat Idul Fitri berdasarkan mahzab Syafi’i adalah sunnah muakkad.

Artinya, salat Idulfitri sangat dianjurkan bagi setiap muslim.

Hukum shalat Idul Fitri menurut mahzab Syafi’i ini menjadi pendapat jumhur (mayoritas) ulama dengan dalil berdasarkan hadis shahih Bukhari dan Muslim.

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَهْلِ نَجْدٍ ثَائِرَ الرَّأْسِ، يُسْمَعُ دَوِيُّ صَوْتِهِ وَلَا يُفْقَهُ مَا يَقُولُ، حَتَّى دَنَا، فَإِذَا هُوَ يَسْأَلُ عَنِ الْإِسْلَامِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: خَمْسُ صَلَوَاتٍ فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ. فَقَالَ: هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا؟ قَالَ: لَا، إِلَّا أَنْ تَطَوَّعَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَصِيَامُ رَمَضَانَ. قَالَ: هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهُ؟ قَالَ : لَا ، إِلَّا أَنْ تَطَوَّعَ. قَالَ : وَذَكَرَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الزَّكَاةَ، قَالَ: هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا؟ قَالَ : لَا ، إِلَّا أَنْ تَطَوَّعَ قَالَ: فَأَدْبَرَ الرَّجُلُ وَهُوَ يَقُولُ:
وَاللَّهِ لَا أَزِيدُ عَلَى هَذَا وَلَا أَنْقُصُ. قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَفْلَحَ إِنْ
صدق

Artinya:

Seorang penduduk Nejed datang menghadap Rasulullah saw. dengan rambut yang kusut. Kami mendengar nada suaranya tetapi tidak memahami kata-katanya.

Setelah dekat kepada Rasulullah saw. ia bertanya tentang Islam.

Maka Rasulullah saw. bersabda: “Salat lima waktu sehari semalam.”

Lelaki itu bertanya: “Masih adakah salat lain yang diwajibkan epadaku?”

Jawab Rasulullah saw: “Tidak, kecuali jika engkau ingin melakukan salat sunah. Kemudian berpuasa pada bulan Ramadan.

Lelaki itu bertanya lagi: “Adakah puasa lain yang diwajibkan kepadaku?”

Beliau menjawab: “Tidak, kecuali jika engkau ingin berpuasa sunah.”

Beliau bersabda: “Keluarkanlah zakat”

Tanya lelaki itu: “Adakah zakat lain yang diwajibkan kepadaku?”

Beliau menjawab: “Tidak, kecuali jika engkau ingin bersedekah”

Kemudian lelaki itu pergi sambil berkata: “Demi Allah, Aku tidak akan menambah juga tidak akan mengurangi sedikitpun.”

Rasulullah saw. bersabda: “Ia amat beruntung, seandainya ia menepati apa yang telah diucapkannya.

Imam An-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, berkata, “Kaum muslimin telah sepakat bahwa salat Id disyariatkan, dan bahwa hukum salat Id adalah sunah bukan wajib. Imam Syafi’i dan kebanyakan murid-muridnya berpendapat bahwa salat Id hukumnya sunah”.

Selaras dengan pendapat ini, Imam al-Syairazi dalam kitab al-Muhazzab berkata,

صَلَاةُ الْعِيدَيْنِ سُنَّةٌ

Artinya: “Salat dua hari raya itu sunah”.

Kemudian, Az-Syairazi menyebutkan bahwa salat Id tidak disyariatkan azan pada pelaksanaannya sehingga dalam hal ini ia mengqiyaskan bahwa shalat id termasuk salat sunah karena tidak ada azan, seperti halnya salat Dhuha.

2. Hukum Shalat Idulfitri Menurut Mahzab Hambali (Fardhu Kifayah)

Mahzab Hambali memiliki pendapat yang berbeda mengenai hukum salat Idulfitri.

Mahzal Hambali mengatakan hukum shalat Idul Fitri adalah fardhu kifayah.

Dalil-dalil yang digunakan oleh Ibnu Qudamah adalah Al-Qur’an surah Al-Kautsar ayat 2.

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْۗ

Terjemahan: “Maka, dirikanlah shalat untuk Tuhanmu dan berkurbanlah!”

Ayat ini ditafsirkan sebagai perintah untuk melaksanakan shalat hari raya.

Kata shalli (dirikanlah shalat) dalam ayat tersebut menunjukkan kewajiban, sebagaimana kaidah ushul fikih yang menyatakan: “Hukum asal dari sebuah perintah adalah wajib, kecuali ada indikasi lain yang menunjukkan bahwa perintah tersebut tidak bersifat wajib.”

Selain bersandar pada dalil Al-Qur’an, mazhab Hambali juga menggunakan hadits sahih dari Bukhari dan Muslim sebagai dasar hukum.

Hadis ini diriwayatkan oleh Thalhah bin Ubaidillah, dan juga menjadi pegangan ulama dari mazhab Syafi’i.

Menurut Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Kafi, saalat Id tidak termasuk fardhu ‘ain.

Hal ini berdasarkan kisah ketika Nabi Muhammad saw. menjelaskan kewajiban shalat lima waktu kepada seorang Badui.

Orang tersebut kemudian bertanya, “Apakah ada kewajiban lain bagiku selain shalat lima waktu?”

Nabi saw. menjawab, “Tidak, kecuali jika kamu ingin melaksanakannya sebagai ibadah sunnah (tathawwu’).”

Dalam kitab Al-Mughni, Ibnu Qudamah juga menyatakan:

وَصَلَاةُ الْعِيدِ فَرْضٌ عَلَى الْكِفَايَةِ

Artinya: “Shalat Id hukumnya adalah fardhu kifayah.”

Menurutnya, tidak adanya seruan azan dalam pelaksanaan saalat Id menjadi salah satu indikasi bahwa ibadah ini tidak bersifat wajib secara individu, sebagaimana halnya shalat jenazah.

Pendapat lain dikemukakan oleh Imam Taquyuddin Muhammad dalam kitab Muntahaal-Iradat, di mana beliau menyatakan:

صَلَاةُ الْعِيدِ فَرْضٌ كِفَايَةٌ ، إِذَا اتَّفَقَ أَهْلُ بَلَد عَلَى تَركِهَا، قَاتَلَهُم الإِمَامُ

Artinya: “Shalat Id merupakan fardhu kifayah. Jika seluruh penduduk suatu wilayah sepakat untuk meninggalkannya, maka imam wajib memerangi mereka.”

Senada dengan itu, Nuruddin Abu Thalib Abdurrahman dalam kitab Al-Wadih fi Syarh Mukhtasar al-Khiraqi menyebutkan:

عَلَى أَنَّهَا فَرْضٌ كِفَايَةٌ وَأَنَّهَا لَا تَحِبُّ عَلَى الْأَعْيَانِ : أَنَّهَا لَا يُشْرَعُ لَهَا الْأَذَانِ فَلَمْ تَحِبْ عَلَى الأَعْيَانِ، كَصَلَاةِ الْجِنَازَةِ

Artinya: “Shalat hari raya hukumnya fardhu kifayah dan tidak diwajibkan bagi setiap individu. Hal ini dikarenakan tidak disyariatkannya azan dalam pelaksanaannya, sehingga statusnya sama seperti shalat jenazah.”

Dari berbagai pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa menurut mazhab Hambali, hukum shalat Idul Fitri adalah fardhu kifayah.

Nabi Muhammad saw. beserta para khalifah setelahnya senantiasa mengerjakan saalat ini, sehingga menjadikannya bagian dari syiar Islam.

Oleh karena itu, pelaksanaannya tetap harus dilakukan.

Namun, kewajiban tersebut tidak berlaku bagi setiap individu secara langsung.

Jika sudah ada sebagian kaum Muslimin yang mengerjakannya, kewajiban bagi yang lain menjadi gugur.

3. Hukum Shalat Idul Fitri Menurut Mahzab Hanafi (Fardhu ‘Ain)

Mengacu pada laman resmi Al-Manhaj, ulama mazhab Hanafi menetapkan bahwa hukum shalat Idul Fitri adalah fardhu ‘ain, yang berarti wajib bagi setiap individu.

Pendapat ini dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yang menyatakan bahwa dasar kewajiban shalat Idul Fitri bagi setiap Muslim bersumber dari praktik Rasulullah saw..

Pada masa Nabi saw., beliau dan para sahabat melaksanakan shalat Id di tempat terbuka seperti tanah lapang.

Rasulullah saw. juga tidak pernah memberikan keringanan bagi siapa pun untuk melaksanakan shalat tersebut di dalam Masjid Nabawi.

Menurut Ibnu Taimiyah, hal ini menjadi bukti bahwa shalat Id bukanlah ibadah sunnah biasa. Nabi saw. juga senantiasa menyertakan khutbah dalam pelaksanaannya, sama seperti shalat Jumat.

Selain itu, terdapat riwayat dari Ali bin Abi Thalib r.a. yang menunjukkan bahwa ia pernah menugaskan seseorang untuk mengimami shalat Id di masjid bagi orang-orang yang lemah.

Jika shalat Id hanya bersifat sunah, tentu tidak perlu ada penugasan khusus untuk melaksanakannya, terlebih bagi mereka yang memiliki keterbatasan.

Namun, kenyataannya Ali tetap menginstruksikan seseorang untuk mengimami mereka di masjid, yang menjadi indikasi kuat bahwa shalat Id memiliki status wajib dan harus tetap dikerjakan oleh setiap Muslim, termasuk mereka yang lemah.

Dalil lainnya adalah perintah Nabi saw. agar kaum wanita turut keluar ke tanah lapang untuk menyaksikan berkahnya hari Id, meskipun mereka sedang dalam keadaan haid.

Jika wanita yang sedang haid saja dianjurkan untuk hadir, tentu bagi mereka yang suci lebih diutamakan untuk ikut serta dalam shalat Id.

Rasulullah saw. pun tidak memberikan keringanan dalam hal ini. J

ika ada perempuan yang tidak memiliki jilbab, beliau menganjurkan agar ada yang meminjamkannya.

لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا

“Hendaknya ada yang meminjamkan jilbab untuknya.” (Hadits shahih, muttafaq ‘alaihi, dengan lafal yang berasal dari Imam Muslim).

Selain itu, menurut Imam Shana’ani dan Shidiq Hasan Khan dalam kitab Ar-Raudhah An-Nadiyah, jika hari Id bertepatan dengan hari Jumat, maka kewajiban shalat Jumat dapat gugur.

Karena shalat Jumat sendiri adalah ibadah yang diwajibkan, maka sesuatu yang dapat menggugurkan kewajiban tersebut haruslah sesuatu yang juga bersifat wajib.

4. Hukum Shalat Idulfitri Menurut Mahzab Maliki (Sunah Muakad)

Ulama mazhab Maliki memiliki pandangan yang sejalan dengan mazhab Syafi’i serta mayoritas ulama lainnya.

Mereka berpendapat bahwa shalat Idul Fitri berstatus sunnah muakkad, yaitu ibadah sunnah yang sangat dianjurkan untuk dilaksanakan.

Mengutip dari laman Muhammadiyah, Rasulullah saw. senantiasa melaksanakan shalat Idulfitri dan Iduladha setelah disyariatkan tanpa pernah meninggalkannya.

Namun, tidak ada ketentuan mengenai sanksi bagi mereka yang tidak mengerjakannya.

Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa hukum shalat Idul Fitri adalah sunnah muakkad.

***

Demikian penjelasan mengenai hukum shalat Idul Fitri.

Baca artikel informatif lainnya di artikel.rumah123.com dan Google News.

Dapatkan hunian impian di Rumah123 karena #SemuaAdaDisini!

Hanifah

Hanifah

Content Writer