Gen Z Sulit Beli Rumah: Memahami Tantangan, Preferensi, dan Tren di Tahun 2024
Harga rumah di Indonesia terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Hal ini rupanya tak sebatas berdampak pada generasi milenial, sebab tidak dapat dipungkiri bahwa Gen Z juga sulit beli rumah.
Pasar properti saat ini tidak hanya didominasi oleh milenial atau generasi pendahulunya, Gen Z yang kini mulai memasuki usia matang untuk memiliki properti pun perlahan menapakkan kaki.
Namun, ada fenomena menarik terkait hal ini, yakni munculnya anggapan “Gen Z sulit beli rumah”.
Bukan tanpa sebab, kondisi tersebut tak lepas dari sederet tantangan yang dihadapi oleh Gen Z dalam memiliki rumah impian.
Merujuk hasil survei Property Perspective from Gen Z yang dirilis Jakpat, 36 persen dari 587 responden Gen Z lebih memilih menyewa properti ketimbang membeli properti karena belum siap secara finansial.
Dilansir dari CNBC Indonesia, Direktur Research & Consultancy Savills Dani Indra Bhatara menyebut fenomena tersebut lantaran pola pikir Gen Z yang menganggap harta properti sudah terlalu tinggi, sedangkan penghasilannya tidak cukup untuk membeli properti.
Sebagai informasi, berdasarkan KBBI, Gen Z atau Generasi Z adalah generasi yang lahir pada akhir tahun 1990-an dan awal tahun 2000-an.
Alexander Krisantius Ryandi, arsitek asal Bandung sekaligus pemilik biro arsitek Prestige Atelier, memberikan pendapatnya terkait tantangan yang dihadapi Gen Z dalam memiliki rumah sendiri dan preferensi memilih hunian.
Simak selengkapnya!
Menelaah Stigma Gen Z Sulit Beli Rumah
Berkembangnya anggapan Gen Z sulit beli rumah bukan tanpa alasan, sebab ada beberapa faktor yang mendasari hal tersebut.
Untuk memahami lebih jauh kenapa stigma tersebut muncul di tengah-tengah masyarakat, kita perlu tahu apa saja tantangan yang dihadapi oleh Gen Z.
“Tantangan utama yang saya amati untuk Generasi Z sekarang itu karena masalah keterjangkauan. Harga properti kayak sekarang itu kan sudah naik banget, terus pendapatan mungkin sulit untuk berbanding dengan memiliki properti, itu akan menjadi masalah,” kata Alex Ryandi.
Namun, terkait harga properti yang makin tak terjangkau, hal ini kembali lagi tergantung oleh area, di mana harga rumah di tengah kota tentu lebih mahal dari yang lokasinya berada di pinggiran.
“Di situ juga akan menjadi tantangan yang baru, stress level dalam perjalanan. Lingkungan tempat tinggalnya mereka juga tentunya kalau memang memilih yang terjangkau lingkungannya otomatis harus yang cocok dengan mereka,” lanjutnya.
Alex Ryandi menambahkan bahwa keterbatasan dana sejatinya memberikan dampak yang paling besar terhadap keterjangkaun hunian.
Dengan kondisi seperti itu, untuk memiliki hunian sendiri alih-alih memilih mengontrak, jarak harus dikorbankan.
Preferensi dan Tren Hunian Gen Z
Setiap generasi memiliki preferensinya masing-masing dalam memilih hunian yang mereka inginkan, baik itu dari segi gaya arsitektur maupun interior.
Menurut Alex Ryandi, Gen Z menyukai minimalisme karena mereka butuh sesuatu yang dapat bertahan lama, mudah dibersihkan, dan juga menarik dari segi bentuk.
Gen Z cenderung menyukai hal-hal minimalis dan multifungsi bukan tanpa sebab, melainkan karena adanya keterbatasan yang mereka hadapi.
Untuk mengatasi keterbatasan ruang yang dihadapi, mereka berusaha untuk memilih furniture modular dan fleksibel supaya lebih serbaguna.
Furniture seperti itu memungkinkan untuk menjadikan sebuah ruangan memiliki lebih dari satu fungsi, misalnya ruang tamu yang bisa difungsikan sebagai tempat kerja.
Di sisi lain, Gen Z sangat melek terhadap teknologi sehingga tak sedikit dari mereka yang mengintegrasikan sistem Internet of Things (IoT) dan smart device dengan hunian sehingga membuat aktivitas di rumah lebih efisien.
Dengan demikian, hunian yang paling ideal untuk Gen Z adalah hunian bergaya minimalis yang segala praktis dan memiliki tampilan bersih.
“Saat ini yang paling nge-tren itu lebih ke arah Japandi, Scandi, hal-hal yang simpel dan minimalis. Juga mungkin ke arah industrial masih ada peminatnya, biar pun bukan heavy industrial. Jadi lebih minimalis industrial, dalam arti ada industrial touch tapi tidak kayak heavy industrial yang terlalu gelap,” papar Alex Ryandi.
Selain itu, Alex Ryandi mengatakan bahwa arsitektur biofilik juga tengah menjadi gaya arsitektur yang belakangan ini banyak diminati.
Alasannya karena arsitektur biofilik menjawab kebutuhan Gen Z akan kebutuhan hunian yang mendukung kesehatan mental dan membutuhkan banyak penghijauan.
Tips Membangun Rumah untuk Gen Z
Menanggapi tantangan dan preferensi Gen Z dalam memiliki hunian, Alex Ryandi membagikan sebuah tips membangun hunian yang tepat bagi Gen Z.
“Dalam merancang hunian kebutuhan Generasi Z itu, saya lebih merancang dari dalam ke luar karena menurut saya ruang gerak dalam kehidupan, layout dalam rumah, itu lebih penting dibanding estetika tampak luar,” tutur Alex Ryandi.
Melihat dari sudut pandang Gen Z yang baru memulai kehidupan dengan keterbatasan keterjangkauan dan lainnya, Alex Ryandi mengatakan membangun rumah dari dalam ke luar lebih penting dari tampak rumah.
“Saya selalu memulai, selalu bilang ke klien saya juga, kita fokuskan layout dalam rumahnya dulu. Maksimalkan bagian dalam rumahnya dulu, baru kalau ada bujet sisa kita aplikasikan ke luar rumah,” imbuhnya.
Pada dasarnya, ketika ingin ada tambahan pembangunan setelah tinggal, menambah bagian dalam lebih sulit dibanding bagian luar.
Selain membangun rumah sendiri dari nol, salah satu solusi bagi Gen Z untuk mendapatkan rumah adalah dengan memilih rumah di bawah NJOP.
***
Semoga bermanfaat, Property People.
Baca artikel informatif lainnya di artikel.rumah123.com dan Google News.
Dapatkan pilihan hunian terbaik hanya di Rumah123 karena #SemuaAdaDisini.
Kunjungi pula Teras123 buat ngobrolin properti bersama ahlinya!