Teguh Ostenrik dan Karya Sarat Makna Anti-Diskriminasi
Tinggal di Jerman selama kurang lebih 16 tahun, ternyata membawa dampak besar pada Teguh Ostenrik. Dampak tersebut terlihat jelas pada pemikiran dan perilakunya tentang bagaimana ia harus menjalani kehidupannya sehari-hari.
Bukan lantas menjadi sombong, uniknya, seniman yang lebih tersohor sebagai pematung ini justru kian rendah hati. Jika terjadi ketidaksesuaian dalam kehidupan, ia kerap lebih dulu bertanya bila hal tersebut merupakan kesalahannya.
Baca juga: Teguh Ostenrik: Yesus dari Papua Itu Figur Emansipator
“Pernah berpikir apakah bahasa Indonesia saya salah, hingga pekerja saya tidak mengerti omongan saya?” katanya bercerita kepada Rumah123, Rabu (10/8). “Saya sudah bilang tang itu bukan hammer, tapi tetap saja ia mengetok paku dengan tang.”
Pria asal Solo juga sangat terusik dengan masih maraknya diskriminasi di Indonesia. Beberapa diskriminasi itu akhirnya menjadi inspirasinya berkarya.
Selain “Yesus dari Papua” yang mengangkat diskriminasi pada orang-orang di pulau paling timur Indonesia itu, pria yang gemar olah raga yoga dan pilates ini juga mengangkat tema dari isu lesbian, gay, bisexual, dan transgender (LGBT).
Beberapa patung bertema lesbian terlihat terpajang di rumah yang juga studio kerjanya di kawasan Cilandak. Hanya lesbian.
“Bayangkan tekanan yang dihadapi kaum homo, sudah cukup berat. Lesbian yang berarti kaum wanita ini lebih menderita lagi,” katanya menjabarkan.
Baca juga: Interior Keren tapi Masih Kurang ’’Sreg’’, Ada Apa?
Teguh yang mengaku memiliki teman dari kalangan LGBT ini menilai tak seharusnya diperlakukan demikian. “Mereka selalu dicibir. Padahal di kalangan pekerja, mereka tergolong sangat profesional,” ujarnya menegaskan.
Menurut Teguh, mereka yang selalu mencibir termasuk orang-orang sombong. “Sombong itu adalah metafora tertinggi dari ketidakpedean.”