10 Puisi WS Rendra Paling Populer dan Melegenda. Apa Saja?
W. S. Rendra dikenal sebagai salah satu penyair terkenal Indonesia. Sudahkah kamu tahu apa saja puisi WS Rendra yang ditulis semasa hidupnya?
Indonesia memiliki banyak tokoh pujangga atau penyair terkenal, mulai dari Chairil Anwar, W. S. Rendra, Taufiq Ismail, Mustofa Bisri, hingga Sapardi Djoko Damono.
Di antara penyair-penyair tersebut, W. S. Rendra merupakan salah satu penyair dengan nama besar yang memiliki banyak karya.
Semasa hidupnya, pria bernama asli Willibrordus Surendra Broto menelurkan banyak karya.
Mau tahu apa saja puisi-puisinya?
Simak kumpulan puisi WS Rendra berikut ini, yuk!
Kumpulan Puisi WS Rendra
1. “Permintaan”
Wahai, rembulan yang bundar
jenguklah jendela kekasihku!
Ia tidur sendirian,
hanya berteman hati yang rindu.
2. “Telah Satu”
Gelisahmu adalah gelisahku.
Berjalanlah kita bergandengan
dalam hidup yang nyata,
dan kita cintai.
Lama kita saling bertatap mata
dan makin mengerti
tak lagi bisa dipisahkan.
Engkau adalah peniti
yang telah disematkan.
Aku adalah kapal
yang telah berlabuh dan ditambatkan.
Kita berdua adalah lava
yang tak bisa lagi diuraikan.
3. “Optimisme”
Cinta kita berdua
adalah istana dari porselen.
Angin telah membawa kedamaian
membelitkan kita dalam pelukan.
Bumi telah memberi kekuatan,
kerna kita telah melangkah
dengan ketegasan.
4. “Doa Seorang Serdadu Sebelum Perang”
Tuhanku
wajah-Mu membayang di kota terbakar
dan firman-Mu terguris di atas ribuan
kuburan yang dangkal.
Anak menangis kehilangan bapa.
Tanah sepi kehilangan lelakinya.
Bukanya benih yang disebar di bumi subur ini
tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia.
Apabila malam turun nanti
sempurnalah sudah warna dosa
dan mesiu kembali lagi bicara.
Waktu itu, Tuhanku,
perkenankan aku membunuh
perkenankan aku memasukkan sangkurku.
Malam dan wajahku
adalah satu warna.
Dosa dan nafasku
adalah satu udara.
Tak ada lagi pikiran
kecuali menyadari
biarpun bersama penyesalan.
Apa yang bisa diucapkan
oleh bibirku yang terjajah?
Sementara kulihat kedua tangan-Mu yang capai
mendekap bumi yang mengkhianati-Mu
Tuhanku.
Erat-erat kugenggam senapanku.
Perkenankan aku membunuh
Perkenankan aku menusukkan sangkurku.
5. “Lagu Serdadu”
Kami masuk serdadu dan dapat senapan
ibu kami nangis tapi elang toh harus terbang.
Yoho, darah kami campur arak!
Yoho, mimpi kami patung-patung dari perak!
Nenek cerita pulau-pulau kita indah sekali.
Wahai, tanah yang baik untuk mati!
Dan kalau kutelentang dengan pelor timah
cukillah ia bagi putraku di rumah.
6. “Gugur”
Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Tiada kuasa lagi menegak
Telah ia lepaskan dengan gemilang
pelor terakhir dari bedilnya
Ke dada musuh yang merebut kotanya
Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Ia sudah tua
luka-luka di badannya
Bagai harimau tua
susah payah maut menjeratnya
Matanya bagai saga
menatap musuh pergi dari kotanya
Sesudah pertempuran yang gemilang itu
lima pemuda mengangkatnya
di antaranya anaknya
Ia menolak
dan tetap merangkak
menuju kota kesayangannya
Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Belum Lagi selusin tindak
maut pun menghadangnya.
Ketika anaknya memegang tangannya
ia berkata :
“Yang berasal dari tanah
kembali rebah pada tanah.
Dan aku pun berasal dari tanah
tanah Ambarawa yang kucinta
Kita bukanlah anak jadah
Kerna kita punya bumi kecintaan.
Bumi yang menyusui kita
dengan mata airnya.
Bumi kita adalah tempat pautan yang sah.
Bumi kita adalah kehormatan.
Bumi kita adalah juwa dari jiwa.
Ia adalah bumi nenek moyang.
Ia adalah bumi waris yang sekarang.
Ia adalah bumi waris yang akan datang.”
Hari pun berangkat malam
Bumi berpeluh dan terbakar
Kerna api menyala di kota Ambarawa
Orang tua itu kembali berkata:
“Lihatlah, hari telah fajar!
Wahai bumi yang indah,
kita akan berpelukan buat selama-lamanya!
Nanti sekali waktu
seorang cucuku
akan menancapkan bajak
di bumi tempatku berkubur
kemudian akan ditanamnya benih
dan tumbuh dengan subur
Maka ia pun berkata:
-Alangkah gemburnya tanah di sini!”
Hari pun lengkap malam
ketika menutup matanya
7. “Sajak Pertemuan Mahasiswa”
Matahari terbit pagi ini
mencium bau kencing orok di kaki langit,
melihat kali coklat menjalar ke lautan,
dan mendengar dengung lebah di dalam hutan.
Lalu kini ia dua penggalah tingginya.
Dan ia menjadi saksi kita berkumpul di sini
memeriksa keadaan.
Kita bertanya:
Kenapa maksud baik tidak selalu berguna.
Kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga.
Orang berkata “Kami ada maksud baik”
Dan kita bertanya : “Maksud baik untuk siapa?”
Ya! Ada yang jaya, ada yang terhina
Ada yang bersenjata, ada yang terluka.
Ada yang duduk, ada yang diduduki.
Ada yang berlimpah, ada yang terkuras.
Dan kita di sini bertanya:
“Maksud baik saudara untuk siapa?
Saudara berdiri di pihak yang mana?”
Kenapa maksud baik dilakukan
tetapi makin banyak petani yang kehilangan tanahnya.
Tanah-tanah di gunung telah dimiliki orang-orang kota.
Perkebunan yang luas
hanya menguntungkan segolongan kecil saja.
Alat-alat kemajuan yang diimpor
tidak cocok untuk petani yang sempit tanahnya.
Tentu kita bertanya:
“Lantas maksud baik saudara untuk siapa?”
Sekarang matahari, semakin tinggi.
Lalu akan bertahta juga di atas puncak kepala.
Dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya:
Kita ini dididik untuk memihak yang mana?
Ilmu-ilmu yang diajarkan di sini
akan menjadi alat pembebasan,
ataukah alat penindasan?
Sebentar lagi matahari akan tenggelam.
Malam akan tiba.
Cicak-cicak berbunyi di tembok.
Dan rembulan akan berlayar.
Tetapi pertanyaan kita tidak akan mereda.
Akan hidup di dalam bermimpi.
Akan tumbuh di kebon belakang.
Dan esok hari
matahari akan terbit kembali.
Sementara hari baru menjelma.
Pertanyaan-pertanyaan kita menjadi hutan.
Atau masuk ke sungai
menjadi ombak di samodra.
Di bawah matahari ini kita bertanya:
Ada yang menangis, ada yang mendera.
Ada yang habis, ada yang mengikis.
Dan maksud baik kita
berdiri di pihak yang mana!
8. “Aku Tulis Pamplet Ini”
Aku tulis pamplet ini
karena lembaga pendapat umum
ditutupi jaring labah-labah
Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk,
dan ungkapan diri ditekan
menjadi pengiyaan
Apa yang terpegang hari ini
bisa luput besok pagi
Ketidakpastian merajalela.
Di luar kekuasaan kehidupan menjadi teka-teki
menjadi marabahaya
menjadi isi kebon binatang
Apabila kritik hanya boleh lewat saluran resmi,
maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam
Lembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan.
Tidak mengandung perdebatan
Dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan
Aku tulis pamplet ini
karena pamplet bukan tabu bagi penyair
Aku inginkan merpati pos.
Aku ingin memainkan bendera-bendera semaphore di tanganku
Aku ingin membuat isyarat asap kaum Indian.
Aku tidak melihat alasan
kenapa harus diam tertekan dan termangu.
Aku ingin secara wajar kita bertukar kabar.
Duduk berdebat menyatakan setuju dan tidak setuju.
Kenapa ketakutan menjadi tabir pikiran?
Kekhawatiran telah mencemarkan kehidupan.
Ketegangan telah mengganti pergaulan pikiran yang merdeka.
Matahari menyinari air mata yang berderai menjadi api.
Rembulan memberi mimpi pada dendam.
Gelombang angin menyingkapkan keluh kesah
yang teronggok bagai sampah
Kegamangan. Kecurigaan.
Ketakutan.
Kelesuan.
Aku tulis pamplet ini
karena kawan dan lawan adalah saudara
Di dalam alam masih ada cahaya.
Matahari yang tenggelam diganti rembulan.
Lalu besok pagi pasti terbit kembali.
Dan di dalam air lumpur kehidupan,
aku melihat bagai terkaca:
ternyata kita, toh, manusia!
9. “Makna Sebuah Titipan”
Seringkali aku berkata,
Ketika semua orang memuji milikku
Bahwa sesungguhnya ini hanyalah titipan
Bahwa mobilku hanyalah titipan-Nya
Bahwa rumahku hanyalah titipan-Nya
Bahwa hartaku hanyalah titipan-Nya
Bahwa putraku hanyalah titipan-Nya
Tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya:
Mengapa Dia menitipkan padaku?
Untuk apa Dia menitipkan ini padaku?
Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik-Nya itu?
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya?
Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah
Kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka
Kusebut itu sebagai panggilan apa saja untuk melukiskan kalau itu adalah derita
Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku
Aku ingin lebih banyak harta,
ingin lebih banyak mobil,
lebih banyak popularitas, dan
kutolak sakit,
kutolak kemiskinan,
seolah semua “derita” adalah hukuman bagiku
Seolah keadilan dan kasih-Nya harus berjalan seperti matematika:
Aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan nikmat dunia kerap menghampiriku.
Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan kekasih
Kuminta Dia membalas “perlakuan baikku”,
Dan menolak keputusan-Nya yang tak sesuai keinginanku
Gusti,
Padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanya untuk beribadah.
“Ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja”
10. “Tuhan, Aku Cinta Pada-Mu”
Aku lemas
Tapi berdaya
Aku tidak sambat rasa sakit
atau gatal
Aku pengin makan tajin
Aku tidak pernah sesak nafas
Tapi tubuhku tidak memuaskan
untuk punya posisi yang ideal dan wajar
Aku pengin membersihkan tubuhku
dari racun kimiawi
Aku ingin kembali pada jalan alam
Aku ingin meningkatkan pengabdian
kepada Allah
Tuhan, aku cinta padamu
***
Itulah kumpulan puisi WS Rendra.
Simak artikel menarik lainnya hanya di artikel.rumah123.com.
Ikuti juga Google News Rumah123 agar tidak ketinggalan informasi terbaru.
Jika sedang mencari hunian, cek rekomendasinya di Rumah123.com.
Menemukan hunian idaman kini lebih mudah karena kami #AdaBuatKamu.