Harga Masker "Digoreng" Akibat Corona, Penjual Bisa Dijerat Hukum!
Merebaknya virus Corona atau Covid-19 membuat harga masker melonjak tinggi dimana-mana. Dilansir dari Tempo, harga masker jenis N95 dan masker bedah (surgical mask) melonjak setelah kabar soal wabah virus corona.
Adapun harga masker per boks di Pasar Pramuka melonjak hingga lima kali lipat. Untuk masker bedah, semula harganya hanya sekitar Rp15.000 hingga Rp25.000 per boks. Sedangkan sekarang harganya bisa mencapai Rp150.000 hingga Rp300.000.
Sedangkan masker N95, harga normalnya hanya berkisar Rp195.000 per boks. Kini, harganya mencapai Rp 1,6 juta.
Penyebab harga masker melonjak di pasaran
Menurut Pelaksana Tugas Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah (PPKUKM) DKI Jakarta Elisabeth Ratu Rante Allo, harga masker yang meroket disebabkan oleh produksi masker berkurang.
Sebab, suplai bahan baku pembuatan masker diimpor dari China dan mulai habis. Ketika permintaan akan masker meningkat, produksinya justru berkurang.
Namun, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi menduga adanya penimbunan masker dari pihak distributor untuk meraup untung besar di tengah isu wabah corona.
YLKI telah menerima banyak aduan konsumen terkait melambungnya harga masker. Pihak mereka pun meminta bantuan kepolisian untuk mengusut dugaan penimbunan masker oleh distributor ini.
Baca juga: Faktor-Faktor yang Membuat Virus Corona Sampai Saat Ini Tidak Ditemukan di Indonesia
Larangan soal penimbunan masker di tengah isu virus Corona
Apabila ternyata dugaan YLKI terbukti benar, maka pihak-pihak yang terlibat dalam menimbun masker dan menjualnya dengan harga tinggi, bisa dijerat hukum.
Menurut Hukumonline.com, perbuatan ini dikategorikan sebagai pelanggaran atas ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan (“UU 7/2014”). Adapun ketentuan ini berbunyi:
1. Pelaku Usaha dilarang menyimpan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan Barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas Perdagangan Barang.
2. Pelaku Usaha dapat melakukan penyimpanan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu jika digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam proses produksi atau sebagai persediaan Barang untuk didistribusikan.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai penyimpanan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden.
Barang kebutuhan pokok yang dimaksud adalah barang yang menyangkut hajat hidup orang banyak dengan skala pemenuhan kebutuhan yang tinggi serta menjadi faktor pendukung kesejahteraan masyarakat.
Masker, menjadi barang yang dibutuhkan banyak orang untuk mencegah penyebaran penyakit menular, dalam hal ini adalah virus Corona. Dalam waktu seperti ini, masker menjadi barang pokok dan barang penting. Karena demikian, masker tak boleh ditimbun.
Perbuatan tersebut juga bisa terikat pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (“UU 5/1999”).
Pada Pasal 4 UU 5/1999 menegaskan bahwa:
1. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
2. Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa, sebagaimana dimaksud ayat (1), apabila 2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Pasal 5 UU 5/1999 kemudian menguraikan bahwa:
Pelaku Usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.
Hukuman yang menghantui para penimbun masker
Para pihak yang melanggar ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU 7/2014, dapat dijerat Pasal 107 UU 7/2014, yang berbunyi:
Pelaku Usaha yang menyimpan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan Barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas Perdagangan Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
Sedangkan sanksi pidana yang dapat menjerat pelaku usaha adalah ketentuan Pasal 48 ayat (1) dan (2) UU 5/1999, yang berbunyi:
1. Pelanggaran terhadap ketentuan pasal 4, pasal 9 sampai dengan pasal 14, pasal 16 sampai dengan Pasal 19, pasal 25, pasal 27, dan pasal 28 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima milyar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 100.000.000.000,00 (seratus milyar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.
2. Pelanggaran terhadap ketentuan pasal 5 sampai dengan pasal 8, pasal 15, pasal 20 sampai dengan pasal 24, dan pasal 26 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima milyar rupiah) atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.